Sebagai akibat dari pandemi COVID-19, hampir semua sektor terdampak. Salah satunya sektor pariwisata. Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun data dari Tourism Satellite Account terkait nilai ekonomi dan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Lempar balik 2016, nilai ekonomi pariwisata mencapai Rp576,7 triliun. Sedangkan kontribusinya sebesar 4,65% terhadap PDB.
Setahun berselang, nilainya naik lagi menjadi Rp635,3 triliun. Akan tetapi, kontribusinya naik tipis, yakni 4,67% pada 2017. Sejatinya secara tren, sejak 2016, nilai dan kontribusi pariwisata kerap meningkat. Sampai pada 2019, nilainya naik cukup signifikan, yakni Rp786,3 triliun dan kontribusinya sebesar 4,97%. Namun pada 2020, saat pandemi COVID-19 mewabah dan seluruh aktivitas diperketat, nilai ekonominya hanya Rp346 triliun. Kontribusinya anjlok hingga 2,24%, menurut artikel Katadata.co.id pada 31 Mei 2023 yang berjudul “Membaca Nilai Ekonomi Pariwisata dan Kontribusinya Terhadap PDB, Jeblok Karena Pandemi”.
Seiring waktu, pandemi COVID-19 berangsur menurun menjadi endemi menuju new normal. Namun, hal itu masih memiliki dampak yang panjang bagi beberapa industri, di antaranya industri penerbangan yang berkaitan dengan dunia pariwisata. Industri tersebut berusaha bangkit dengan melakukan efisiensi dalam bisnisnya, di antaranya pengurangan pegawai.
Menurut artikel Kompas.com pada 30 Mei 2021 yang berjudul “5 Maskapai Indonesia yang Lakukan Pengurangan Karyawan akibat Pandemi”, sejumlah maskapai penerbangan di tanah air melakukan pengurangan pegawai, yakni Sriwijaya Air, Garuda Indonesia, Lion Air, Susi Air dan AirAsia.
Namun, hingga kini, industri penerbangan masih melakukan penyesuaian untuk pulih dalam bisnis dikarenakan beberapa faktor. Di antaranya harga avtur yang makin mahal dan nilai tukar dolar Amerika Serikat yang terus menguat. Hal tersebut mengakibatkan tingginya biaya operasional. Atas hal tersebut, Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) mengusulkan tarif penerbangan disesuaikan dengan mekanisme pasar. Asosiasi meminta aturan tarif batas atas lebih baik dihapus. INACA menyebut penentuan tarif tiket pesawat harus dikaji ulang. Itu untuk memberikan fleksibilitas bagi maskapai dalam menyesuaikan tarif sehingga dapat memberikan keberlanjutan bisnis penerbangan di Indonesia. Apalagi, penyesuaian tarif batas atas penerbangan terakhir kali dilakukan pada 2019.
Salah satu usulan asosiasi kalau bisa tarif batas atas ini ditiadakan, sehingga harga tiket nanti menyerahkan ke mekanisme pasar, ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja usai melaksanakan Rapat Umum Anggota (RUA) INACA dan dikutip pada 6 November 2023 oleh detik.com dalam artikelnya yang berjudul “Maskapai Penerbangan Minta Tarif Batas Atas Dihapus”. Denon mengatakan penghapusan itu untuk mengimbangi biaya operasional maskapai yang sangat tinggi.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan menolak usulan untuk meniadakan tarif batas atas (TBA) tersebut. Mengutip artikel Bisnis.com berjudul “Menhub Tolak Usul Penghapusan Tarif Batas Atas Tiket Pesawat”, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi angkat bicara terkait rekomendasi INACA untuk menghapuskan TBA tiket pesawat. Budi Karya menegaskan, pihaknya tidak akan menghapuskan tarif batas atas maupun tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat.
Pasalnya, ketentuan tersebut telah tertuang dalam peraturan negara yaitu Undang-Undang No. 1/2009 tentang Penerbangan. Ia yakin bahwa masih ada ruang untuk membahas TBA agar ini bisa dilakukan dengan baik, tetapi kalau akan menghilangkan TBA dan TBB, tidak mungkin karena itu adalah UU, kata Budi Karya di Kompleks Parlemen, Jakarta pada 7 November 2023.
Penulis yang juga termasuk masyarakat pengguna jasa transportasi udara menyetujui respons yang diberikan Kementerian Perhubungan karena jika dihapus dikhawatirkan akan membuat maskapai tidak terkendali dalam membuat tarif batas atas yang mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat akan tiket pesawat sehingga perlu untuk maskapai penerbangan mematuhi UU Penerbangan tersebut.
Lagi pula, lonjakan harga tiket pesawat ternyata tidak menurunkan minat orang untuk bepergian. Terpantau pembelian tiket pesawat melalui agen perjalanan yang tergabung dalam Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) sudah tembus triliunan pada bulan Juni 2022, seperti yang dikutip dalam artikel CNBC Indonesia yang berjudul “Tiket Pesawat ‘Meledak’ Tapi Laris, Travel Agent Panen Omzet”.
Minat masih tinggi. Dari data penjualan tiket pesawat, penjualan pada bulan tersebut mencapai Rp1,7 triliun, bandingkan dari bulan Januari hanya sekitar Rp400 miliar, kata Ketua Umum Astindo Pauline Suharno, kepada CNBC Indonesia pada 21 Juli 2022. Di musim Lebaran tahun 2023, salah satu platform travel bernama Traveloka mengungkap tren antusiasme masyarakat dalam melakukan perjalanan selama periode libur Lebaran 2023. Data internal Traveloka menyebutkan jumlah konsumen yang merencanakan berlibur meningkat, dilihat dari melonjaknya pencarian penerbangan domestik yang mencapai hampir 2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Dengan berakhirnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) per 31 Desember 2022 lalu oleh pemerintah, perusahaan melihat tren perjalanan baik domestik maupun internasional terus meningkat, terlebih di masa libur Lebaran 2023 nanti, ujar Chief Marketing Officer Traveloka Shirley Lesmana lewat keterangan tertulis dikutip pada 11 April 2023 oleh Tempo.co dalam artikelnya yang berjudul “Traveloka Catat Minat Perjalanan saat Libur Lebaran Meningkat Hampir 2 Kali Lipat. Penulis berpandangan, sebaiknya maskapai penerbangan lebih meningkatkan pasar yang hilang selama masa pandemi COVID-19 dengan tarif-tarif yang dimiliki yang sesuai dalam UU Penerbangan agar antusiasme masyarakat terhadap jasa penerbangan lebih meningkat.