Pandemi
Sudah lebih dari dua tahun sejak adanya kasus pertama COVID-19 di dunia yang diduga berasal dari China. Kasus COVID-19 mulai merebak pada awal tahun 2020 yang membuat sejumlah negara melakukan berbagai kebijakan untuk melindungi warga negaranya. Pemerintah Indonesia pun meningkatkan kesiagaan di tengah penyebaran virus tersebut yang memutuskan untuk menutup sementara penerbangan dari dan ke daratan China mulai Rabu 5 Februari 2020 setelah berhasil memulangkan 243 orang yang sebagian besar tinggal di Wuhan.
Namun, pada tanggal 2 Maret 2020, kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali terdeteksi ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Virus tersebut telah menyebar ke 34 provinsi dimana DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sebagai provinsi yang paling terpapar virus tersebut di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan melalui Surat Kepmenkes pada 7 April 2020 di Jakarta. PSBB pertama mulai berlaku pada 10 April 2020. Kebijakan yang membatasi mobilitas masyarakat dengan tujuan untuk menekan laju penularan COVID-19 ini telah mengalami pergantian nama dan format beberapa kali dari mulai PSBB, PSBB Transisi, Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, hingga PPKM Berjenjang.
Dalam kebijakan penanggulangan COVID-19 ini, kegiatan-kegiatan dibatasi dengan persentase kapasitas pekerja bervariatif termasuk di perkantoran. Pembatasan diberlakukan lebih longgar untuk perkantoran di delapan sektor usaha termasuk sektor komunikasi maupun media komunikasi. Namun, pada kenyataannya, dengan kebijakan pelonggaran tersebut, perusahaan media tidak dapat mempertahankan pendapatannya.
Pandemi ini telah menurunkan omset usaha para pengiklan di media yang menurut Nielsen Indonesia turun 25% menjadi Rp3,5 triliun pada minggu ketiga April 2020. Penurunan omset ini mengakibatkan anggaran iklan di berbagai media semakin berkurang.
Disrupsi Digital
Disamping itu, disrupsi digital juga telah menggerogoti industri media cetak di beberapa tahun sebelum adanya pandemi. Disrupsi yang ditandai dengan semakin berkembangnya teknologi dan munculnya berbagai perangkat ini telah mempermudah pembaca dalam mencari berita. Ditambah lagi dengan adanya generasi Z yang populasinya pada tahun 2010 di Indonesia mencapai 28,8 persen dan diprediksi bertambah. Menurut survey Tirto.id, Generasi Z mengakses informasi dari televisi sebesar 14,4 persen, dari internet sebesar 83,6 persen dan dari koran hanya 1,7 persen.
Karena disrupsi digital tersebut, beberapa media menutup operasional mereka karena tergilas media online seperti Tabloid BOLA, majalah HAI, koran Jakarta Globe dan koran Sinar Harapan. Dari media yang masih bertahan, data yang dihimpun oleh media monitoring agency Explicar, dengan adanya disrupsi digital, jumlah halaman pada koran nasional semakin menipis. Namun, ketika pandemi jumlah halaman pada koran nasional cenderung stabil. Untuk harga iklan sejak awal pandemi hingga sekarang stabil seperti koran Kompas bahkan adapula yang meningkat seperti Kompas TV. Adapula media yang mampu bertahan selama disrupsi digital tetapi akhirnya menyerah juga karena pandemi seperti Warta Ekonomi, Indo Pos, Koran Tempo dan Suara Pembaruan.
Era disrupsi telah menjadi sebuah tantangan bagi pelaku industri media cetak. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan keuntungan dari penjualan sirkulasi dan iklan di tengah oplah yang terus menurun. Belanja iklan koran menurun 3% dibanding 2016 menjadi Rp28,5 triliun sedangkan iklan majalah dan tabloid susut 31% menjadi Rp1,1 triliun.
Agar bisa bertahan di era disrupsi digital dan pandemi, media cetak mau tidak mau harus mengikuti pola pikir digital yang pada kenyataannya dapat beroperasi walaupun di masa pandemi ini. Beberapa media cetak mainstream telah menjajaki produk mereka melalui platform digital.
Opini
Pada era sekarang ini, dimana sumber daya telah menipis dan pandemi, digitalisasi merupakan cara yang paling efisien dilakukan. Walaupun tidak seprestise sebelumnya dengan tampilan fisiknya, media cetak harus terjun ke arah digital dengan mengimplementasi ekosistem media online karena kemudahan, kecepatan, higienis, dan tingkah pola digital pada generasi milenial dan Z.
Dengan berlangganan media cetak digital, pembaca dengan mudah mendapatkan media cetak dari berbagai daerah di Indonesia dengan proses yang sangat cepat tak perlu menunggu koran datang. Pembaca juga dapat menjaga kebersihan mereka karena mereka hanya mengakses melalui layar saja. Para pembaca dari generasi milenial dan Z merupakan generasi usia produktif yang bisa dijadikan pangsa pasar yang menjanjikan.
Media cetak yang menyediakan platform digital harus memiliki algoritma yang bisa membaca market pemberitaan. Dengan ini, media tersebut dapat menganalisa bagian mana yang sering dibaca ataupun dilihat oleh pembaca. Hal ini dapat menjaga pembaca agar menjadi loyal terhadap media tersebut. Disamping itu, ini merupakan hal yang menarik bagi perusahaan yang ingin mengiklan di media tersebut. Dibandingkan mengiklan di media online dengan durasi yang relatif cepat dan mengganggu pembaca, mungkin bisa menjadi alasan kembalinya perusahaan yang ingin mengiklan di media cetak versi digital dan meningkatnya keinginan pembaca untuk membaca kembali media cetak. Untuk itu, media cetak diharapkan dapat meraup kembali pangsa pasar yang hilang tidak hanya dengan mengandalkan wartawan hebat tetapi juga merangkul orang-orang berlatar belakang digital serta mengakomodasi para pembaca.